MINERS : 79 Tahun Pertambangan dan Energi Nasional “Membangun Masa Depan Berkelanjutan untuk Indonesia”
Hari Jadi Pertambangan dan Energi Nasional di Indonesia diperingati setiap tanggal 28 September. Tanggal ini merujuk pada berdirinya Kementerian Pertambangan dan Energi (sekarang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ESDM) pada tahun 1945. Peringatan ini adalah momentum penting untuk mengapresiasi kontribusi sektor pertambangan dan energi terhadap pembangunan nasional, sekaligus refleksi tentang peran sektor ini dalam mendukung perekonomian, kesejahteraan masyarakat, serta kelestarian lingkungan.
Jejak Sejarah: Dari Eksplorasi Pertama Hingga Menjadi Pilar Ekonomi Nasional
Perjalanan sektor pertambangan Indonesia dimulai sejak era kolonial, tetapi momentum sesungguhnya terjadi setelah kemerdekaan. Selama 79 tahun terakhir, tambang batu bara di Kalimantan, nikel di Sulawesi, dan emas di Papua telah menjadikan Indonesia sebagai pemain utama di pasar komoditas global. Berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang Minerba, terus dikembangkan untuk memastikan pemanfaatan sumber daya alam secara maksimal dan berkelanjutan.
Sejauh Mana Sektor Pertambangan di Indonesia?
Sektor pertambangan di Indonesia telah berkembang pesat dan memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional.
- Pada tahun 2021, Indonesia adalah penghasil batu bara terbesar kedua di dunia, dengan total produksi sekitar 550 juta ton, dan menyumbang sekitar 59% dari total ekspor mineral negara. Nikel juga menjadi komoditas penting, dengan produksi mencapai sekitar 1 juta ton dan menjadikan Indonesia sebagai penghasil nikel terbesar di dunia.
- Pada tahun 2022, sektor pertambangan dan energi berkontribusi sebesar 10,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, dengan total penerimaan negara dari sektor ini mencapai sekitar Rp 60 triliun.
- Dalam upaya meningkatkan nilai tambah, pemerintah mendorong hilirisasi dengan membangun 13 smelter nikel yang beroperasi pada tahun 2022. Namun, sektor ini menghadapi tantangan lingkungan, di mana sekitar 30% dari lahan yang terdampak pertambangan mengalami kerusakan, termasuk deforestasi dan pencemaran air. Untuk mengatasi isu ini, lebih dari 50% perusahaan tambang mulai mengadopsi teknologi digital dan otomatisasi dalam operasi mereka. Selain itu, Indonesia memiliki potensi geothermal yang besar, sekitar 28.000 MW, dan saat ini memanfaatkan sekitar 2.000 MW dari potensi tersebut.
Meskipun sektor pertambangan menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, keberlanjutan dan tanggung jawab sosial tetap menjadi perhatian utama dalam perjalanan ke depan.